CERPEN PENANTIAN
Gadis itu masih duduk di dekat pohon mampelam tak jauh dari terminal bus yang di nantinya raut wajahnya yang cantik masih tampak nyata meski kini telah menjadi kusam lantaran tak pernah lagi tersentuh, begitu pula dengan rambutnya sedikit ikal dan tampak kurang sedap dibelai kusut tergerai tersapu angin. Pelan-pelan tangannya membuka tas plastik yang berada dipangkuannya sambil matanya melirik ke kiri dan ke kanan seolah-olah ia takut kalau ada yang sedang memata-matainya. Sejenak ia menarik nafas lega saat selembar foto tersebut keluar yang segera diiringi senyumnya bagaikan menyenyumi wajah pria yang tertampang di situ.
Titi Sari “mas aku rindu sekali aku kangen...kapan kau datang mas ?..”. Desah lirih keluar dari bibir kedua sudutnya yang sebentar-bentar melengkung turun. Menahan isakan tangis, Titi Sari “Ah...ah...aku telah lama mengunggu disini seperti pesanmu kalau aku harus selalu sabar menunggu.”
Sesaat gadis itu menatap kaca-kaca mobil lalu lalang didepannya, terlebih lagi yang lewat itu mobil sedan biru jantungnya langsung berdebar-debar dan sesudah itu boleh dipastikan ia akan mengejarnya Titi Sari “Mas...mas...mas....tunggu aku mas.”
Tetapi siapa yang mau menggubrisnya menghentikan mobilnya dan membukakan pintu untuk gadis yang kusam itu. Mereka malah mengumpat dan menjauh secepatnya lantaran menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, gadis itu sedikit kecewa karena tidak ada satupun yang sudi berhenti untuknya. Iapun berhenti mengejar mobil-mobil bisa jadi lelah tetapi mungkin juga ia mulai sadar, tak seperti dulu seperti tahun lalu ketika ia pertama kali bertemu dengan Hari. Di tempat yang sama tak jauh dari terminal bus, saat itu ia benar-benar kaget karena tiba-tiba mobil sedan biru berhenti di dekatnya.
Hari Stia “Maaf dek..bolehkah saya bertanya ??”
Titi Sari “Ohh...tentu saja “
Hari Stia “ Saya hampir kehabisan bensin sudikah adek menunjukkan tempat penjual bensin??”. Pemuda itu berkata seraya membukakan pintu mobilnya wajahnya yang tanpa menyorotkan sinar kejujuran dan ingin membuat si gadis masuk ke dalam mobilnya.
Hari Stia “terima kasih saya Hari Stia panggil saja saya Hari”. Ujar si pemuda seraya mengulurkan tangannya. Titisari “ saya Titi...Titi Sari “ si gadis seraya menjabat tangan pemuda sejenak keduanya terdiam namun di kedua dada mereka terlihat lebih gencar berarti pada seribu kata lewat bibir. Bagi Hari sendiri Titi Sari sebagai potret idaman hatinya rambutnya setengah ikal tersanggul sederhana dan beberapa bagian terbiarkan terlepas menutup tengkuknya bibirnya yang tipis memerah asli bukan olesan lipstik seperti gadis kota begitu juga dengan kebaya yang sangat sederhana yang membuat pesona indah didalam hati Hari itulah pengalaman pertama Titi Sari, seorang gadis desa duduk didalam mobil mewah ditemani seorang pemuda tampan yang sopan dan baik hati. Titi sari diantar pulang oleh Hari dan mobilnya berhenti di tempat semula.
Hari “bolehkah saya bertemu lagi dengan Titi di tempat ini??”. Hari memberanikan diri untuk bertanya namun Titi Sari berat untuk mengucapkan iya ia menundukkan kepala sementara ibu jari kakinya menggores ke tanah Haripun tersenyum.
Hari “Bagaimana bolehkah??”. Tersipa malu akhirnya Titi Sari mengangguk-anggukan kepalanya sebagai tanda setuju, maka perjumpaan selanjutnya berjumpa dengan manisnya, setiap Titi sari menanti dibawah pohon mampelam didekat terminal dan setiap kali pula hatinya berdebar keras jika Hari muncul didepannya dan berhenti di dekatnya. Percintaan mereka seperti didalam cerita Saja Suji, syahdu meski diwarnai kekontrasan yang mencolok, Hari orang kota anak orang kaya dan sebentar lagi mendapat gelar Insinyur sedangkan Titi Sari anak orang desa miskin dan sekolahnya hanya sampai Sekolah Dasar (SD).
Titi Sari “Ah..seperti hayalan saja jika saya mengharapkan Mas Hari benar-benar sudi mempersunting saya anak orang desa dan juga miskin”.
Kata-kata Titi terhenti ketika telunjuk Hari menutupi bibirnya “jangan kata-kata itu Titi, aku tak peduli sekalipun engkau anak desa” tegas Hari meyakinkan.
Hari “sudah bukan jamannya lagi membeda-bedakan derajat dan kekayaan dalam mempersatukan hati yang saling mencintai, engkau tak pelu lagi bimbang Titi”.
Butiran air mata mengembun dimata Titi lalu leleh jatuh dipipi ia merebahkan kepalanya didada Hari dan kemantapan semakin kokoh dihati Titi bahwa Hari benar-benar ditakdirksn untuk mencintainya. Namun harapan sering kali bertentangan dengan kenyataan ketika orang tua hari mengetahui percintaan anaknya dengan gadis miskin itu mereka langsung menentangnya.
Ayah Hari “ingat Hari engkau jangan terlalu menuruti keinginanmu tanpa persetujuan orang tua, mau kau taruh mana harga diri orang tuamu ini. Bayangkan jika kau kelak memperistri orang desa itu dan kedudukanmu sebagai orang penting dimata masyarakat akan memudar lantaran ia hanya lulusan Sekolah Dasar (SD)”. Damprak Ayah Hari mencoba menentangnya namun ia tak berdaya kekuasaan ayahnya terlalu kuat bagaikan hempasan badai yang tak pernah surut dan Hari pasti akan terhempas dibatu karang jika ia berani menentangnya.
Suatu siang ketika Titi sari menunggu dibawah pohon mampelam didekat terminal seorang kakek tua muncul.
Kakek “kau akan sia-sia menunggu Hari nak..dia telah pergi jauh dan sudah tidak mencintaimu lagi, lupakan dia nak demi kebaikanmu sendiri dan juga demi kebaikannya”.Titi Sari “tidak..tidak...ia telah berjanji akan menjadi suamiku” Titi sari berteriak sambil berlari menjauhi orang tua itu.
Titi Sari “kau pasti bohong..bohong...”. Siang itu Titi Sari masih menatap potret Hari digenggamannya seolah Hari mengajaknya tersenyum seperti biasanya sepeti ia membukakan pintu mobil dan mempersilahkan Titi Sari masuk kedalam mobil, lalu Titi Saripun ikut tersenyumpanjang semakin panjang, disusul derai ketawa keras dicampur suara mobil yang lalu lalang. Tetapi kini siapa yang sudi memperhatikan gadis malang yang selalu menanti dibawah pohon mempelam didekat terminal siapa...siapa...dalam kedaulatan rakyat 28 Agustus 1988 dengan perubahan.