Pages

Flag Counter Versi 2

free counters

Kamis, 06 Oktober 2011

MEMBUAT LIMBAH TEBU MENJADI BAHAN BAKAR

Menyebut nama alkohol, selama ini selalu diasosiasikan dengan minuman keras (miras) atau sesuatu yang membuat mabuk. Padahal, fungsi alkohol itu sangat beragam. Bahkan, di antara keberagaman manfaat cairan itu salah satunya adalah untuk bahan bakar minyak (BBM) kendaraan bermotor.
 
Manfaat alkohol untuk BBM di kalangan masyarakat kita tentu terdengar seperti asing, bahkan aneh. Akan tetapi, tidak bagi sebagian negara di berbagai belahan dunia seperti Brasil, Amerika, Jepang, dan banyak lagi.
Negara-negara itu kini justru terus mengembangkan manfaat alkohol sebagai bahan bakar untuk menghidupkan mesin kendaraan. Bahkan berdasar hasil survei sebuah lembaga otomotif internasional, di belahan dunia ini ada sedikitnya 3 juta unit kendaraan bermotor yang berbahan bakar alkohol (etanol).
Brasil misalnya, tercatat sebagai negara terbesar dalam pengembangan teknologi otomotif berbahan bakar alkohol. Negeri Samba itu tidak saja menjadi tempat lahirnya bintang-bintang sepak bola dunia, tetapi juga pintar dalam hal memanfaatkan potensi alam untuk dipergunakan sebagai basis kebutuhan energinya.
Dari sebuah catatan yang diperoleh ”PR” dari literatur tentang pengembangan industri etanol menyebutkan, produksi alkohol atau etanol di Brasil meningkat tajam dalam lima tahun terakhir. Dari tahun 1999-2000 tercatat hanya 11,0 miliar liter/tahun, di tahun 2003-2004 mencapai 13,6 liter/tahun.
Penggenjotan produksi etanol di negara yang juga dikenal sebagai penghasil kopi terbesar di dunia (kopi robusta), terus digencarkan dalam lima tahun terakhir. Ini setelah pemerintah Brasil mengembangkan industri bioetanol yang kemudian dikonversikan untuk mengganti BBM kendaraan bermotor dari yang konvensional (bensin, premium) ke pemanfaatan etanol.
Prestasi Brasil itu kemudian diikuti sejumlah negara lainnya. Di antaranya, Amerika yang kemudian tercatat sebagai negara kedua terbesar dalam hal produksi etanol (alkohol) dengan kapasitas produksi mencapai 3.100 juta galon di tahun 2004.
Hanya saja, etanol Amerika berbeda dalam hal bahan baku. Bila Brasil menggenjot produksi etanol berbahan baku dari limbah tetes tebu, sedangkan Amerika menggunakan bahan baku dari pati jagung.
Dengan produksi etanol yang terus bertambah, makin banyak pula kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar tersebut. Sukses kedua negara itu kini diikuti Cina, Thailand, Argentina, dan India.
Negara-negara tadi, secara diam-diam kini tengah mengembangkan industri gasohol bebasis bioetanol. Pangsa pasarnya di dunia juga terhitung sangat cerah, apalagi di negara besar seperti Eropa, Jepang, dan juga Amerika, tren pengembangan teknologi otomotif yang dibuat sedemikian rupa, sehingga bisa memanfaatkan alkohol (etanol) sebagai bahan bakar.
”Negara maju sekarang ini cenderung menggunakan produksi yang ramah lingkungan. Etanol atau alkohol itu jelas ramah lingkungan. Bahkan, memiliki banyak kelebihan dibanding BBM yang selama ini kita kenal seperti premium,” kata General Manager Pabrik Spiritus & Alkohol (PSA) Palimanan, Kab. Cirebon, Bambang Wibowo.
Kelebihannya, etanol adalah BBM yang renewable (dapat diperbaharui), karena bahan bakunya terbuat dari tumbuhan seperti jagung dan tebu. Berbeda dengan premium, bila telah habis tidak bisa diproduksi ulang.
Secara kimia, ternyata etanol juga memiliki kelebihan dibandingkan dengan premium yang ada. Bahkan berdasar penelitian, seperti dikemukakan Bambang, angka oktan etanol ketika menjadi BBM kendaraan bermotor, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan BBM yang berkualitas baik seperti Pertamax dan Pertamax Plus yang kini menjadi produk kebanggaan Kilang Pertamina UP-VI Balongan (Indramayu).
“Berdasar hasil studi, angka oktan etanol jauh lebih tinggi dibandingkan pertamax. Berarti kadar timbal (plumbum/Pb) lebih sedikit. Pemakaian etanol sebagai BBM sangat mendukung program langit biru (prolabi),” tuturnya.
Dari sisi ekonomi juga sangat membantu beban pemerintah. Sebagai contoh, pengalaman panjang selama 22 tahun mengembangkan industri gasohol berbasis bioetanol, Brasil berhasil menghemat devisa senilai 1,8 miliar dolar AS/tahun (sekira Rp 17,55 triliun/tahun).
Lebih murah dari kilang
Ongkos untuk mendirikan pabrik etanol jauh lebih kecil dibandingkan mendirikan kilang BBM. Sementara nilai lebihnya tak kalah besar. Proses pembuatan etanol di Brasil sebenarnya memanfaatkan limbah tetes tebu dari pabrik gula (PG).
Limbah tetes tebu itu dikumpulkan, kemudian diproses dengan teknologi sederhana untuk diubah menjadi alkohol. Kapasitas produksi, bisa ditentukan dengan sebanyak mungkin mendirikan pabrik alkohol yang tidak banyak memakan tempat serta biaya di berbagai tempat.
“Dari tebu, pemerintah Brasil bisa memproduksi gula, alkohol dan berbagai jenis produk lainnya seperti spirtus, arak, dan banyak lagi. Dari hulu ke hilir, serta diversifikasi usahanya sangat luas,” kata Bambang.
Jika melihat pengalaman sukses Brasil dan Amerika, tampaknya pemanfaatan alkohol (etanol) sebagai BBM kendaraan bermotor layak dikembangkan di Indonesia. Apalagi, negara ini benar-benar tengah menghadapi krisis energi terburuk.
Seruan penghematan energi juga bisa serta merta dilakukan, apalagi Indonesia sangat berpotensi besar untuk bisa mengembangkan industri alkohol. Hanya saja, seperti dituturkan Bambang, butuh keseriusan pemerintah.
“Belakangan ini, Menristek (Kusmayanto Kadiman, Red.) sempat memberitahu kalau tengah melakukan riset untuk menjadikan alkohol sebagai bahan bakar kendaraan bermotor. Alkohol untuk riset itu dipasok dari pabrik kami,” ungkap Bambang.
Bagi Indonesia, melirik etanol sebagai energi alternatif bisa menjadi jalan keluar dari krisis energi, sekaligus juga upaya penghematan. Sebagai gambaran saja, data impor bensin Indonesia sudah mencapai sekira 6,5 miliar liter di tahun 2004-2005.
Berapa pun devisa yang harus dikeluarkan pemerintah tentunya sangat membebani anggaran (APBN). Bila etanol dikembangkan, maka produksi etanol akan berbanding terbalik dengan impor bensin.
Artinya, bila produksi etanol sebagai bahan bakar alternatif pengganti bensin semakin digenjot, maka impor bensin akan menurun. Di satu sisi, pemerintah bisa melakukan penghematan, tentu saja harus disertai riset soal pengembangan produk otomotif berbahan bakar etanol.
Jepang, ujar Bambang, kini terus mengembangkan otomotif yang menggunakan etanol sebagai bahan bakar. Bahkan, sebagian di antara kebutuhan etanol itu diimpor dari PSA Palimanan hingga 6 juta liter/tahun. PSA Palimanan juga mengekspor etanol ke Cina dan India.
Dari limbah tetes tebu, PSA Palimanan juga memproduksi arak yang secara khusus diekspor ke negeri Belanda sebanyak 150.000 liter/tahun. Produk lainnya ialah spirtus sebanyak 1,5 juta liter/tahun, yang selama ini diperuntukkan bagi kebutuhan dalam negeri seperti industri rotan di Cirebon dan sejumlah pabrik di Bandung dan Jabotabek.
Menurut Bambang, potensi Indonesia untuk mengembangkan industri etanol sangat besar. Termasuk juga terkait dengan riset yang tengah dilakukan Menristek untuk mengonversikan alkohol sebagai BBM pengganti bensin (premium).
“Di Jabar misalnya, daerah Selatan banyak lahan kritis yang bisa ditanami tebu. Tentu saja kalau cuma untuk produksi alkohol, tidak perlu tebu yang berkualitas. Cuma akan lebih baik bila penanaman tebu dikaitkan dengan peningkatan produksi gula yang dengan sendirinya terkait dengan produksi alkohol, spirtus, dan arak,” tutur Bambang.
Apalagi di Indonesia, masih banyak lahan tidak produktif atau lahan kritis yang bisa dikembangkan untuk tanaman tebu. Investasi untuk membangun pabrik alkohol juga tidak lebih mahal dibandingkan membangun kilang yang tidak bisa diperbaharui.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar